Bandung 1929. Betapa hebatnya Kota Bandung pada
zaman keemasannya itu ketika masih dikenang sebagai Parijs van Java.
Kota ini telah berhasil menyelenggarakan Kongres Sains Pasifik Keempat.
Berbagai ilmuwan dari bidang-bidang sains seluruh dunia berkumpul di
Bandung saat itu, di antaranya para ahli geologi, yang tidak hanya
datang dari Lingkar Pasifik, juga dari Eropa, dan tentu saja khususnya
Belanda.
Makalah-makalah yang sekarang menjadi
tulisan klasik tentang geologi Indonesia dipaparkan di kongres itu.
Beberapa di antaranya adalah tulisan tentang analisis obsidian (gelas
kaca gunung api) dari Gunung Kiamis, Garut, oleh seorang peneliti gunung
api Neumann van Padang. Makalah lain terbit pada tahun yang sama
tentang Cekungan Bandung dan keberadaan Danau Bandung Purba oleh Stehn
dan Umbgrove. Peta Cekungan Bandung yang dilampirkan pada makalah itu
menjadi rujukan penelitian selanjutnya, terutama oleh ahli paleontologi
G.H.R. von Koenigswald yang membahas tentang sebaran alat-alat batu
obsidian di sekeliling Danau Bandung Purba pada tulisannya berbahasa
Jerman, 1935.
Pada kongres itu pula seorang
geolog peneliti batuan sedimen bernama Harting mengemukakan tentang
terumbu karang purbakala berumur 30 juta tahun yang lalu yang saat itu
disebut sebagai Lapisan Tagogapu, dan sekarang dikenal sebagai Formasi
Rajamandala, di Padalarang. Bahkan salah satu tujuan widya wisata
kongres itu adalah mengunjungi kawasan karst Citatah, Padalarang. Jadi,
dari sisi keilmuan Geologi, betapa pentingnya kawasan karst Citatah yang
sudah diperkenalkan ke dunia internasional sejak Indonesia belum
merdeka.
Bagaimanakah kondisi karst Citatah
sekarang Gunung Masigit yang menjadi lokasi tipe atau rujukan batu
gamping Formasi Rajamandala yang diteliti peserta Kongres Sains Pasifik
IV 1929 itu sekarang sedang menjerit meratap langit, berteriak menembus
jagat. Tubuh gunungnya hancur diledakkan dinamit secara bertubi-tubi,
atau dicongkel ekskavator secara semena-mena. Sekarang bukit itu
menampakkan singkapan-singkapan batuan terjal berwarna putih dengan
lubang-lubang besar menganga, menyisakan hampir 50 persen dibandingkan
dengan kondisi aslinya.
Bukit-bukit kapur lain,
Pasir Bancana tampak menganga mengenaskan jika dipandang dari jalan
raya arah Cianjur menuju Bandung. Pasir Leuit dan Pasir Ketu-ketu,
hampir rata dengan permukaan tanah sekitarnya. Pasir Bengkung dengan
igir (punggung) bukit seperti gigi raksasa di sebelahnya yang disebut
sebagai Karang Panganten tampak utuh jika dilihat dari sisi jalan raya
Bandung-Cianjur di Pamucatan, tetapi di sisi sebaliknya, tebing-tebing
putih galian semakin mempertipis igir bukitnya. Pasir Pabeasan yang
disebut juga Tebing 125, atau Pasir Manik (Tebing 49), memang masih utuh
karena rajin dijadikan ajang panjat tebing. Tapi di sekelilingnya,
morfologi porak poranda menjadi pemandangan sehari-hari.
Sangat mengenaskan pula, satu-satunya morfologi karst unik dan langka
yang di negara lain mungkin sudah dijadikan monumen alam nasional berupa
lengkungan alami (natural arc), terancam roboh karena kiri-kanannya
intensif digali, diledakkan, dan dihancurkan. Rasanya tidak ada harapan
lagi bagi para pencinta alam yang sehari-hari merayapi Tebing 125
mengamati dari pekan ke pekan, degradasi perbukitan karst Citatah tampak
jelas di bawah kakinya.
Dari seluruh
bukit-bukit kapur yang membentang dari Tagogapu di utara Padalarang ke
Cihea di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dengan Cianjur, kira-kira 80
persen - 90 persen tidak ada yang utuh lagi. Dari sisa yang sedikit
itu, Pasir Pawon adalah satu-satunya bukit kapur yang masih asri tanpa
ada gangguan penggalian. Di bukit seukuran kira-kira 45 ha itu terdapat
beberapa gua yang lubang-lubang masuknya menghadap ke arah utara. Di
bawahnya merembes mata air dari retakan-retakan batu gamping yang tidak
pernah kering sekalipun di musim kemarau, cukup mengairi berpetak-petak
sawah di sekitarnya. Dua hal itulah yang membuat gua ini dijaga
masyarakat sebagai warisan alam yang sangat berharga.
Menjaga keutuhan Pasir Pawon seolah-olah menjadi harga mati setelah
diketahui adanya situs kuburan manusia prasejarah berumur 9.500 tahun
yang lalu yang ditemukan di Gua Pawon. Penelitian pendahuluan di tahun
2000 yang dilaksanakan oleh peneliti dari ITB dan LIPI yang tergabung
dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menjadi batu loncatan untuk
ekskavasi Balai Arkeologi Bandung pada 2003 sampai tersingkapnya
kerangka utuh meringkuk Manusia Pawon. Temuan yang spektakuler itu
menjadikan situs Gua Pawon merupakan situs kuburan manusia prasejarah
pertama dan satu-satunya di Jawa Barat dan Banten. Inilah aset Kabupaten
Bandung Barat yang selayaknya bertaraf internasional dalam
kontribusinya kepada penyusunan evolusi manusia prasejarah di dunia.
Titik balik 2009
Sayangnya, delapan tahun sejak penelitian rintisan KRCB dan lima tahun
setelah tersingkapnya kerangka meringkuk oleh Balai Arkeologi Bandung,
Gua Pawon tidak ditangani secara seharusnya sebagai suatu situs bertaraf
dunia. Alih-alih dikelola secara layak, Pasir Pawon di awal 2008 telah
diincar tiga calon pengusaha batu kapur. Untunglah izin pengusahaan batu
kapur itu mendapat halangan atas kesadaran masyarakat di sekitar Gua
Pawon sehingga ancaman eksploitasi tersebut dapat dicegah. Apalagi
ketika wilayah ini berada di bawah Kabupaten Bandung Barat sebagai
pemekaran dari Kabupaten Bandung, aset berharga ini mulai menjadi
perhatian serius, khususnya melalui Wabup Ernawan Natasaputra.
Dengan iktikad baik pemerintahan kabupaten yang baru, usaha
penyelamatan pun terus berlanjut. Tim penyelamatan karst Citatah segera
dibentuk dengan SK Bupati Bandung Barat. Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan mendukung usaha-usaha ke arah penyelamatan situs Gua Pawon
setelah kunjungannya ke Desa Gunungmasigit tempat situs itu berada. Gong
besar dari semua itu adalah pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede
Yusuf saat membuka pameran foto "Selamatkan Karst Citatah " di
Museum Geologi Bandung pada Kamis (19 /2) yang siap mengakomodasi
usaha-usaha penyelamatan karst Citatah mulai 2009.
Dede Yusuf pulalah yang akhirnya menyempatkan waktunya di sela-sela
kesibukannya sebagai wakil gubernur yang padat untuk datang ke Gua
Pawon. Beliaulah pejabat tertinggi yang pernah mengunjungi Gua Pawon,
mendaki lereng gua dengan semerbak bau kotoran kelelawar, mengamati
stalaktit dan stalagmit, "menyapa " replika Manusia Pawon di
tempatnya berada, dan berdialog akrab dengan masyarakat serta anak-anak
SMA yang kebetulan berdarma wisata ke Gua Pawon. Saat itulah, Minggu
(8/3), beliau meresmikan Kampung Seni dan Budaya Gua Pawon, dan dua hari
kemudian menyatakan agar ada moratorium penggalian di bukit-bukit kapur
karst Citatah.
Pada Minggu (5/4), Pemprov Jawa
Barat menunjukkan komitmennya. Dana awal Rp 60 juta dikucurkan untuk
pengembangan Kampung Wisata, Seni, dan Budaya Gua Pawon. Hal itu bukan
hadiah begitu saja bagi masyarakat Gua Pawon, tetapi suatu amanat yang
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun bersamaan dengan itu,
ledakan-ledakan dinamit masih terjadi menghancurkan lereng-lereng bukit
kapur. Kejadian itu seolah-olah sebuah ejekan dari suatu ketakberdayaan
usaha moratorium penggalian, atau mungkin berlomba menghabiskan cadangan
batu kapur sebelum benar-benar ada tindakan keras menyetop penggalian: b
ak-b ak kabur
Kampus lapangan kebumian
Kawah Candradimuka para geolog Indonesia berada di Karangsambung,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah Setiap tahun mahasiswa-mahasiswa Teknik
Geologi dan Teknik Geofisika ITB berangkat ke sana dan menimba ilmu
lapangan di bidang geologi dan geofisika selama dua minggu hingga satu
bulan penuh.
Memang terpaksa jauh, karena di
sanalah terhimpun dalam areal yang berdekatan bermacam-macam jenis
batuan yang menjadi subjek utama pendidikan lapangan geologi. Bahkan
sejak 1964 telah didirikan kampus lapangan di bawah pengelolaan LIPI.
Sebenarnya, Geologi ITB di awal tahun 1960-an pernah mengincar wilayah
antara Padalarang, Citatah, dan Rajamandala sebagai kampus lapangan.
Sekalipun di tempat ini jenis batuannya tidak sekaya Karangsambung,
namun materi-materi pembelajaran lapangan Geologi lainnya sangat baik.
J.A. Katili (almarhum) yang merupakan profesor Geologi pertama di ITB
dan Indonesia, seperti tertulis pada buku biografinya Harta Bumi
Indonesia, bersama-sama Prof. Sukendar Asikin, bersusah payah mencari
calon kampus lapangan itu, sejak Singkarak di Sumatra Barat, Ciletuh dan
Padalarang di Jawa Barat, dan Karangsambung di Jawa Tengah. Sekalipun
akhirnya Karangsambung yang terpilih, tetapi bagaimana pun wilayah
Padalarang adalah salah satu calon yang potensial.
Dalam perkembangan ilmu kebumian yang semakin berkembang di abad ke-21
ini, wilayah Citatah, Padalarang, kembali dilirik untuk menjadi
alternatif kampus lapangan Karangsambung. Kembalinya Citatah menjadi
calon kampus lapangan didasarkan atas beberapa alasan. Pertama,
kedekatannya dari Bandung. Kedua, banyak disiplin ilmu di kampus-kampus
di Bandung dan Jawa Barat yang pasti memerlukan laboratorium lapangan
yang diperluas sebagai laboratorium lapangan kebumian (tidak hanya
geologi saja). Di ITB saja terdapat Geologi, Geodesi, Geofisika, bahkan
Meteorologi. Jurusan Geologi di Jawa Barat juga terdapat di Unpad,
Unpak, STTMI, dan AGP. Belum lagi Jurusan Geografi di UPI.
Setelah ditemukannya situs arkeologis Gua Pawon, bahkan Jurusan
Arkeologi dari UI atau Jurusan Antropologi Unpad dapat juga menjadikan
wilayah Citatah sebagai laboratorium lapangan. Tentu saja pada
perkembangan berikutnya, ilmu-ilmu lain yang memerlukan laboratorium
lapangan bisa memanfaatkannya, sepertipertambangan, biologi, pertanian,
dan sebagainya.
Bukan tidak mungkin
pendidikan-pendidikan menengah atau bahkan pendidikan dasar dapat
memanfaatkan kampus lapangan Citatah. Bukankah pendidikan lingkungan
sudah harus diberikan sejak pendidikan dasar (Budi Brahmantyo, staf
dosen di KK Geologi Terapan, FITB, ITB; Kepala Pusat Kepariwisataan
P2Par ITB, dan anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung/KRCB.)
Pikiran Rakyat (12 April 2009)http://lipi.go.id/berita/kampus-lapangan-kebumian-karst-citatah/4017
Posting Komentar