"Bawa payungmu. Langit sudah mendung," ucap Ibu.
"Aku sedang buru-buru, bu. Lagipula jaket tebal ini akan melindungiku," kataku sambil terus mencari sepatu hitam kesayanganku.
"Ini payungmu," ucap Ibu. Beliau menyerahkan sebuah payung berwarna biru yang dihiasi motif polkadot.
"Bu, kenapa harus payung yang ini?" Gerutuku. "Ibu kan tahu aku tak suka dengan payung ini."
"Payungmu yang lain udah rusak. Kalau payungnya dibuka malah kebawa angin. Kamu mau kebawa angin juga? Pakai payung polkadot itu saja. Lagipula kenapa kamu tak suka payung itu? Payung itu kan pemberian dari..."
"Ibu, jangan sebut namanya!" Rengekku. "Geli aku mendengar namanya disebut-sebut."
"Payung itu kan benda bersejarah. Udah sana kamu berangkat, nanti telat ke kampus." Aku mencium pipi Ibu, kemudian berangkat menuju kampus.
Baru berjalan kaki selama lima belas menit, awan mendung seakan sudah tak sanggup menahan beban, rintik-rintik hujan mulai membasahi muka bumi.
Aku membuka payung polkadot itu. Sembari berlindung dibawahnya, aku berlari-lari kecil menuju angkutan umum yang telah menunggu di depan gang kompleks perumahan.
PAYUNG POLKADOT (2) - END
Hujan semakin deras. Untungnya destinasi yang aku tuju dengan angkutan umum ini agak jauh. Jadi aku masih dapat duduk santai selama beberapa menit.
Aku memperhatikan payung polkadot di genggamanku. Hari ini merupakan hari pertama payung itu menikmati dinginnya air hujan. Selama enam tahun, aku menelantarkan payung itu. Aku tak pernah menggunakannya sejak seseorang itu memberikan payung polkadot sebagai hadiah ulang tahunku.
Aku menggerutu kesal. Pikiranku mulai memutar ulang kejadian enam tahun lalu. Ketika ia memberikan payung ini kepadaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sebisa mungkin, aku berusaha menghentikan rentetan kenangan yang diputar secara otomatis di dalam otak.
"Neng, are you ok?" Tanya supir angkot.
Aku mengangguk malu. Dalam hati aku berteriak berterima kasih kepada supir angkot yang berhasil menyelamatkanku dari serangan kenangan itu.
Dua menit berlalu, kenangan itu seakan tak mau kalah dan tetap berjuang menelusuk masuk ke dalam pikiranku. Tolong sedang terjadi invasi dalam pikiranku! Namun, kali ini aku benar-benar tidak bisa berkutik.
"Ini untukmu. Selamat ulang tahun," ucap seseorang dari masa laluku.
Aku tak menyangka ia akan memberikan kado untukku. "Boleh ku buka sekarang?"
Ia mengangguk. "Aku tak pandai merangkai kata seperti ucapan dari teman-temanmu. Apapun do'a yang kau panjatkan, aku turut berharap Tuhan akan mengabulkannya."
Aku tersenyum kecil. 'Andai saja aku boleh memanjatkan do'a supaya lelaki di depanku melirikku sedikit saja,' batinku. Tapi aku tak akan melakukan itu, kasihan pacarnya, kalau si ganteng ini tiba-tiba berjodoh denganku bagaimana? Pacarnya bisa menangis tersedu-sedu di pojok kamar.
Aku tersenyum lebar ketika telah membuka bungkus kado itu.
"Setiap pulang sekolah, kalau hujan turun, kamu pasti selalu nebeng payung temen. Jadi aku pikir kamu memang mengalami krisis payung," tuturnya.
"Makasih ya. Oya, kenapa kamu memilih motif polkadot?"
"Kamu kan tipe gadis yang agak old-fashioned. Seleramu beda dari gadis pada umumnya."
"Lalu, kenapa kamu begitu yakin kalau aku miskin payung? Bisa saja kan, kalau aku punya payung tapi selalu lupa bawa?"
Ia tampak ragu. "Iya juga sih. Kalau begitu, pakai payungnya untuk melindungi hatimu. Hujan itu berbahaya. Hujan dapat membawa seluruh rindu, kenangan dan tetek-bengeknya."
Jika dapat memutar ulang waktu, aku ingin mengatakan hal ini padanya, 'sayangnya, hatiku yang merasakan desir kerinduan, bukan ragaku. Selebar apapun payung yang kau berikan tak akan mampu melindungiku dari seluruh nostalgia itu.'
Supir angkot yang mengerem mendadak membuyarkan lamunanku. Aku memukul kepalaku. "Aduh, jangan sampai lengah! Benar kata dia, hujan memang berbahaya!"
Ya, hujan memang berbahaya. Hujan berhasil membuatku kembali bertanya bagaimana kabar cinta tak terbalasku itu.
#JumblingJuly2017
by: Nazhira. A. 2016 a.ka. Jaja
Posting Komentar